Total Tayangan Halaman

Jumat, 11 Mei 2012

Makalah Sosiologi Tema : Akibat Proses Sosialisasi Nilai-Nilai Subkebudayaan Menyimpang


Makalah Sosiologi
Bebas Yang Terlalu Bebas



Disusun oleh kelompok 5
Jepri Pratama (15)
Maulida F. Fadhila (17)
Nur Cholis S. (25)
Rika Puspitasari (28)

X.7 SMAN 1 Magetan
2011/2012

Tema : Akibat Proses Sosialisasi Nilai-Nilai Subkebudayaan Menyimpang


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini walau tidak tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.



Magetan,  1  Mei 2012


Penulis



                     `


DAFTAR ISI


Kata Pengantar……………….....................................2
Daftar isi………………………………………………3
Bab I Pendahuluan…………………………………...4
          Latar belakang…………………………………..4
Permasalahan……………………………………4
Ruang lingkup …………………………………..4
Tujuan……………………………………………4
Bab II Pemecahan Masalah/Pembahasan…………..5
       Pengertian………………………………………..5
       Keblablasan……………………………………...5
       Upaya pencegahan………………………………7
Bab III Penutup………………………………………9
       Kesimpulan………………………………………9
       Saran……………………………………………..9
Daftar Pustaka………………………………………11








          BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang memiliki akibat yang dapat menjadi masalah yang ada pada kehidupan sehari-hari kita. Salah satunya “salah pergaulan”, dalam kehidupan sosialisasi dibutuhkan karena manusia adalah makhluk sosial. Sosialisasi tidak hanya dilakukan di lingkup keluarga maupun saudara, namun juga pada sekolah, lingkungan dan lain-lainnya karena lingkup sosialisasi begitu luas dan itu hidup manusia. Dalam lingkup sekolah dan lingkungan sekitar kita, kita bersosialisasi untuk mendapat teman. Bila kita bersosialisasi dengan benar maka tidak akan terjadi “salah pergaulan”. Di era sekarang ini, salah pergaulan sangat dimungkinkan terjadi. Salah pergaulan memiliki akibat yang buruk pada perkembangan anak.  Anak dapat menjadi pemberontak ataupun memiliki sikap buruk lainnya.
B.    Permasalahan
1.       Mengapa banyak remaja zaman sekarang yang lebih memilih gaya pergaulan barat yang terkesan bebas ?
2.       Mengapa banyak gadis di bawah umur sudah berani dalam aksi protistusi ?
C.     Ruang lingkup
Problematika sosial akan terus bergejolak sampai manusia itu akan berpisah antar arah dengan nyawa, namun ada faktor yang sangat bermakna dalam kehidupan yakni faktor manusia dengan Tuhan. Berbagai macam alasan yang terlontar ketika para pelaku penyimpangan sosial tertangkap. Dari alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga keperluan untuk membahagiakan sang pacar. Namun perlu kita kaji lebih jauh bahwa penyimpangan sosial terjadi adanya penularan kebudayaan di lingkungan di mana tinggal sebuah komunitas.
D.    Tujuan
                Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah berusaha untuk mengkaji akibat proses sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang berasaskan Pancasila. Karena hal ini erat kaitannya dengan sistem sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.





                  BAB  II
     PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN
Perilaku menyimpang adalah suatu perilaku yang diekspresikan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah masyarakat yang disadari tau tida disadari, tidak sesuai dengan norma yang berlaku dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Faktor penyebab perilaku menyimpang:
1.       Sikap mental yang tidak sehat
2.       Ketidakharmonisan keluarga
3.       Pelampiasaan kekecewaan
4.       Dorongan kebutuhan ekonomi
5.       Lingkungan dan media massa
6.       Keinginan untuk dipuji
7.       Proses belajar yang salah
8.       Ketidaksanggupan meyerap norma
9.       Perbedaan ikatan sosial
10.   Proses sosialisasi nilai subkebudayaan menyimpang
11.   Kegagalan dalam proses sosialisasi
Dalam proses sosialisasi, seseorang mungkin dipengaruhi oleh nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, sehingga terbentuklah perilaku menyimpang. Contoh: seorang anak dibesarkan pada lingkungan yang menganggap perbuatan minum-minuman keras, pelacuran, dan perkelahian sebagai hal yang biasa, maka anak tersebut akan melakukan perbuatan menyimpang yang serupa. Menurut ukuran masyarakat luas, perbuatan anak tersebut jelas bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, maka perbuatan anak tersebut dapat dikategorikan menyimpang. Perilaku menyimpang tersebut banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Perilaku menyimpang dapat disebabkan oleh anomi. Secara sederhana anomi diartikan sebagai suatu keadaan di masyarakat tanpa norma.
B.  CONTOH PENYIMPANGAN
Gaya hidup yang dipilih remaja cenderung memilih gaya hidup bebas atau lebih akrab dengan pergaulan bebas. Pergaulan bebas cenderung mengikuti gaya kehidupan orang barat, dimana orang bebas melakukan hal-hal yang diinginkannya tanpa memperhatikan norma dan aturan yang berlaku. Gaya hidupnya akrab sekali dengan fashion yang tidak menutup aurat, seks bebas, napza, dunia malam, dll. Berbeda dengan budaya timur yang masih menjujung tinggi norma dan aturan yang berlaku, serta masih mengenal hal yang tabu, jadi sering sekali kita mendengarkan ungkapan “jauhi pergaulan bebas”.
Apakah berlebihan jika gaya berpakaian anak muda zaman sekarang jauh dari kata sopan ? Hal ini memang riil adanya memang sekilas busana yang dikenakan terlihat sopan, celana panjang jins dan t-shirt. Tapi coba Anda perhatikan lebih lama lagi busana yang mereka kenakan, dengan celana jins yang mepet dan t-shirt yang ketat, secara tidak langsung mereka memamerkan lengkuk tubuh mereka. Entah itu ketidak sengajaan karena efek yang ditimbulkan dari pakaian itu atau mereka memang ingin memamerkan lakuk tubuhnya. Jika dapat dikatakan pakaian anak kecil dan anak remaja sulit dibedakan, tidak terlalu kejam bukan? Karena Itu memang benar nyatanya. Selain tidak menutup aurat, gaya busana anak muda sekarang adalah main warna. Jika warna yang dipadukan serasi, saya rasa tidak akan ada nada tanggapan negatife dari masyarakat, namun anak muda sekarang sering memadukan warna-warna yang tidak kontras, alias “ambrol radol” (baca: tidak bagus). Ini tidak hanya terjadi pada satu golongan saja, tapi hampir semua anak remaja bangga berbusana seperti itu. Tidak jarang penampilan mereka mengikuti sosok idola. Dengan menggunakan cara apapun mereka membeli barang-barang yang sama dengan idola mereka, meskipun barang itu tidak asli. Berbagai fahion baru tumbuh bagai cendawan, ada trend punk, funky, rappers, gengster, skinhead, grunge dan sebagainya. Trend demikian bukan hanya di kalangan kaum lelaki malah kaum perempuan. Demikian pula dengan model rambut yang lebih mengarah ke potongan yang aneh-aneh dari pada memilih gaya yang biasa saja. Ada yang mengikuti gaya potongan ala jepang, artis korea, dll. Mereka lebih suka memilih gaya orang lain dari pada menyesuaikan dengan gaya mereka sendiri. Rambut juga dicat warna-warni, meskipun aturan sekolah sudah melarangnya. Aturan seakan sudah tidak berlaku lagi bagi mereka. Selain itu banyak tindik dan tato dimana-mana, mereka tidak peduli dengan statusnya yang masih pelajar maupun mahasiswi.
Eksploitasi seksual dalam video klip, majalah, televisi dan film-film ternyata mendorong para remaja untuk melakukan aktivitas seks secara sembarangan di usia muda. Jika jaman dahulu wanita meraa jijik saat tubuhnya disentuh lelaki, kini diciumpun merupakan hal yang biasa. Maka tidak mungkin seks juga merupakan hal biasa dalam menghiasi masa pacaran. Pacaran tanpa melakukan seks bagi mereka adalah sayur tanpa bumbu, tidak berasa sama sekali. Seks dijadikan kebutuhan pokok yang harus terpenuhi. Tubuh tidak lagi disakralkan oleh kaum remaja putri, tapi diumbar begitu saja. Banyak hal yang dilakukan hanya untuk pemuasan nafsu belaka. Mereka tidak memikirkan resiko yang akan di tanggung. Kepercayaan dan suka sama suka dijadikan alasan yang wajib dibuktikan dengan tindakan yang meugikan diri sendiri. Bukan hanya mahasiswi saja yang melakukan seks bebas, kini seks bebas mewabah di kalangan SMP. Anak-anak usia 14 tahun sudah mengenal gaya pacaran yang tidak ada batasnya, yang berakhir pada kehamilan. Padahal mereka tidak tahu resiko apa yang akan dihadapi. Setiap bulan kasus HIV dan kehamilan meningkat 20 %, yang kebanyakan pasiennya adalah mahasiswi dan pelajar. Saya yakin semua agama mempunyai sanksi tentang seks bebas. Namun nampaknya para penerus bangsa ini sudah dibutakan oleh cinta yang tidak bermoral. Ketakutan akan kehilangan cinta sudah membutakan hati mereka pada keimanan dan harga diri.
Tidak ada bedanya dengan tempat tongkrongan anak muda sekarang seperti cafe, mall, tempat clubbing, lesehan, dll. tempat-tempat itu akrab sekali dengan dunia malam. Clubbing misalnya, clubbing atau dikostik ini buka pada jam malam yaitu sekitar jam 19.00-03.00. Seperti Anda ketahui mall, memang buka dari pagi hari. Namun pagi, remaja putri menyelesaikan tugasnya sebagai pelajar dan mahasiswi sampai jam belajrnya selesai, sehingga mereka meilih malam hari untuk berkumpul di mall. Jika tidak ada yang mempunyai teman, mereka membawa laptop-nya kesana kemari hanya untuk mencari wifi gratis. Lalu membuka situs-situs yang tidak penting. Cafe pada umumnya tempat memesan makanan, tapi para “ayam kampus” memanfaatkannya sebagai tempat “berjualan” agar terkesan lebih terhormat, tidak di pinggir jalan. Berkumpul di kos, ijinnya belajar bersama-sama tapi malah pacran bersama-sama. Janjian dengan pacar di mall, lalu nongkrong bareng dipinggir jalan. Berkumpul di lesehan, tertawa ngakak, tidak hanya hidangan makanan yang di esan tapi ada hidangan “plus-plus” yang memang sengaja di bawa.
Jika dilihat sebetulnya dari tempat tongkrongan itu seharusnya mereka bisa menghasilkan sesuatu yang positif. Misalnya, menghasilkan karya seni, pernak-pernik, dll. Memang ada berapa remaja yang yang sudah merealisaikan hal itu, namun masih bisa dihitung dengan jari. Lalu apa yang dilakukan remaja lainnya saat berada di tempat tongkrongan? Yang saya sebutkan diatas hanya sebagian kecil hal negative yang dilakukan anak muda di tempat ia berkumpul dengan teman-temanya.
        Dari pergaulan “NONGKRONG” berubah menjadi tempat ajang pamer barang, khususnya untuk remaja putri. Disinilah gaya hidup berubah.Dari yang biasa menjadi gaya hidup mewah dan glamour.Bahkan tidak sedikit dari mereka menjual diri mereka untuk meraih yang namanya gaya hidup mewah. Paradigma ‘gaya hidup mewah/konsumerimse” ini begitu cepat merasuki generasi muda terutama kaum pelajar yang berada di perkotaan, dan tidak tertutup kemungkinan di daerah jauh dari perkotaan mengingat begitu cepatnya ‘sosialisasi’ paradigma ini melalui teknologi multimedia (TV, majalah, internet). Bahakan yang rumahnya jauh dari kota besar sekalipun. Bagaimana tidak, tidak hanya seks bebas (free sex) yang menjadi hal biasa bagi sebagian kalangan remaja di perkotaan, namun transaksi prostitusi sudah terang-terangan terjadi pada anak-anak dibawah umur (17 tahun).Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa :
- Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks.
- Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
- Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
- Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
                Kata PSK atau pekerja seks komersial selama ini dialamatkan bagi mereka yang melacurkan diri karena faktor ekonomi atau sebagai profesi. Karena kondisi ekonomi yang tertekan, maka banyak wanita yang melacurkan diri untuk menghidupi keluarga atau ‘terpaksa’ karena tidak ada lapangan pekerjaan. Namun dari sekian banyak tipe PSK ini, tidak sedikit dari mereka yang telah terjebak oleh mafia perdagangan manusia atau mengalami frustasi luar biasa. Mereka ini menjadi korban ekonomi dan kejahatan perdagangan manusia. Bila PSK selama ini diasosiasikan sebagai pekerja demi memenuhi kebutuhan hidup mendasar, namun beberapa tahun terakhir, menjadi PSK tidak semata-mata lagi karena faktor ekonomi. Motfi para siswi sekolah yang menjajahkan diri dengan harga beragam dari Rp 150.000 hingga beberapa juta mulai bergeser. Dari faktor ekonomi menjadi gaya hidup mewah. Banyak pelajar ini yang mengakui bahwa mereka masuk ke dunia prostitusi karena “tidak tahan melihat” gaya hidup mewah dari rekan-rekannya dari orang kaya. Para siswi ini nekat terjun ke dunia malam hanya karena ingin memiliki uang, barang-barang mewah termasuk handphone model terakhir.
Hasrat yang tinggi untuk memiliki barang mewah tersebut disambut oleh para mucikari sebagai  ‘gayung bersambut’, menjadikan ini peluang emas meraup keuntungan. Transaksi seks ABG ini dikoordinasi beberapa mucikari yang biasa beroperasi.
C.     UPAYAPENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYIMPANGAN SOSIAL
Maka sudah semestinya pemerintah bersama masyarakat melihat ini sebagai tantangan besar bagi bangsa ini. Anak-anak dan remaja adalah generasi harapan penerus bangsa ini. Untuk menjadi penerus bangsa yang akan mengisi perjuangan bangsa, tentulah diharapkan orang-orang yang berwatak dan berintegritas. Orang-orang yang dididik dan ‘dibentuk’, cerdas sekaligus bermoral.  Ada orang yang sejak lahir memang memiliki jiwa pemimpin, namun pada umumnya jiwa kepemimpinan dari para pemimpin dunia ini muncul setelah melalui proses belajar yang panjang.
Apabila pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan (Great Leader are Make, not Born), maka setiap lika-liku kehidupan seorang calon pemimpin sangatlah penting. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah paradigma, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang visionerl. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah moralitas, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang bermoral dan berintegritas. Dan apabila, krisis moralitas seperti kasus diatas kita biarkan, maka tidaklah mustahil bahwa nilai-nilai kultur positif nusantara hanya akan dapat ditemukan “Museum Moral Indonesia”.
Sementara, aksi-aksi demoralisasi masih tetap santer terdengar dan bahkan lebih progresif.Pergaulan bebas yang berlebihan, banyaknya judul film porno di  kalangan remaja, siswa-siswi selalu menjadi berita nasional setidaknya tiap dua minggu sekali. Setiap berita ini muncul, maka animo netter naik beratus-ratus persen. Dalam salah satu kasus beberapa tahun yang lalu, ada seoraang anak SMP tega membunuh orang tuanya sendiri. Di tempat lain seorang anak SD bunuh diri dengan alasan tidak sanggup membayar SPP atau kisah anak SD lain yang bunuh diri hanya karena baju seragam hari itu tidak bisa dipakai karena basah terkena hujan. Tawuran pelajar SMA meski sudah mulai jarang kedengar, namun aksi pertikaian para mahasiswa kini menggantikan hot news.
      Aksi dan aktivitas yang negatif ini tidak semata ditangani, namun harus dicegah. Aksi negatif lebih mudah menjamur daripada aksi positif. Indonesia memang tidak kekurangan siswa-siswi yang berprestasi hingga tingkat dunia dalam bidang sains, teknologi, seni, budaya, dan olahraga.    Kualitas dasar anak Indonesia sangatlah, dan memiliki potensi yang besar untuk menjadi manusia yang berdaya manfaat  tinggi bagi masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, semua potensi ini haruslah dikembang, sehingga kita perlu mendidik  agar mereka tidak terjun ke gerbang kehancuran.
        Siapakah yang paling bertanggungjawab dalam hal ini? Orang tua memiliki peranan nomor wahid. Pendidikan moral dan pekerti sudah semestinya dididik anak sejak dini ketika masa-masa terbesar hidup mereka berada di rumah bersama orang tua. Ketika mereka menginjak remaja, maka porsir terbesar jatuh ketangan pihak sekolah/guru. Pendidikan sekolah menjadi gerbang utama membentuk mindset, paradigma serta moralitas si anak ini. Hampir 1/2 ‘kehidupan’ siswa-siswi SMP-SMA berada  di sekolah (6-8 jam di sekolah, 1-2 jam di luar sekolah, 6-8 jam di rumah, 7-9 jam tidur). Pemuka agama seharusnya menjadi ‘pengawas moralitas’ masyarakat, namun banyak dari mereka terjebat dalam konflik kepentingan, politik hingga sebatas ‘artis’ lip service. Disini, peran pemerintah melalui media sangat penting dalam memproteksi anak-anak. Begitu juga, sistem pendidikan kita hendaknya memikirkan hal ini. Jangan sampai sistem pendidikan hanya dipandang  sebagai mesin ‘produksi’ kelulusan kuantitatif. Seorang yang dinyatakan lulus hendaknya memikirkan faktor logika dan etika. Bukan sebatas angka UN, lalu orang lulus, namun moralitas diabaikan. Guru bukanlah mesin kelulusan, tapi guru adalah pendidik. Bukan juga semata pengajar, tapi sekali lagi pendidik!
Terakhir, semoga para orang tua untuk memberi perhatian yang baik kepada anak-anaknya. Jangan sampai anak-anak Anda masuk dalam daftar survei diatas. Karena berita diatas sangat mungkin fenomena gunung es yang terekspos di media.



     BAB III
        PENUTUP

A.   Kesimpulan
            Setiap orang memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku menyimpang dari jalur yang telah ditentukan berdasarkan norma hukum yang berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuannya. Penyimpangan perilaku ini, semata-mata didorong oleh nilai-nilai sosial budaya dan  yang dianggap berfungsi sebagai pedoman berperikelakuan setiap manusia didalam hidupnya. Jadi kelakuan yang menyimpang itu akan terjadi apabila manusia memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial budaya dari pada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai cita-citanya.
        Berpudarnya pegangan orang pada kaidah-kaidah, menimbulkan keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah-kaidah. Hal ini berhubungan erat dengan teori anomie Durkheim, dimana menimbulkan mentalitas menerabas yang pada hakikatnya menimbulkan sikap untuk mencapai tujuan secepatnya tanpa banyak berusaha dan berkorban dalam arti mengikuti langkah-langkah atau kaidah kaidah yang ditentukan. Berkaitan dengan teori diatas, setiap orang yang berperilaku di luar kaidah-kaidah yang telah disepakati bersama, dianggap sebagai melawan kaidah tersebut atau tindakkan menerabas, yaitu melakukan jalan pintas di luar kaidah yang ada untuk mencapai tujuan dengan cepat.
         Munculnya perilaku menyimpang ini disebabkan oleh kaidah kaidah yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga mendorong orang untuk mengembangkan konsepsi-konsepsi abstrak yang ada dalam pikirannya untuk mencapai tujuannya atau mencari identitas diri tanpa memperhitungkan dampak negatifnya.
B. SARAN :
a) Masyarakat
         Agar lebih meningkatkan pendidikan moral dan pendidikan formal, sehingga memiliki keseimbangan selaras dalam mengatasi persoalan yang dihadapi yang semakin komplek dan dapat mengatasi masalah social secara sikap yang terdidik dan berpegang teguh kepada aturan norma, agama, dan hokum yang berlaku.
b) Sekolah
         Lebih bersikap peduli untuk mengawasi siswa dan siswi di sekolah serta mampu memberrikan arahan yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga perilaku siswa dan siswi terhindar dari perilaku menyimpang.
c) Siswa-siswi
         Dapat berpikir rasional dalam menghadapi masalah yang dihadapi baik itu masalah yang menyangkut emosion feeling, harga diri, ekonomi, atau masalah lainnya. Dapat memilih dan memilih sikap dan tingkah laku yang positip dan tidak mudah terbawa arus budaya yang tidak jelas yang berefek samping pada penjerumusan



 Daftar Pustaka/Kepustakaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpangJurnalskripsi.com
Nurseno.2011.Theory and Application of Sociology.Solo:Tiga Serangkai
Suprihartoyo.2011.Sosiologi untuk Siswa SMA kelas X.Surakarta:Mitra Pustaka



Semoga bisa menjadi bahan refrensi untuk pembaca ! ;D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar