Makalah
Sosiologi
Bebas Yang Terlalu Bebas
Disusun oleh kelompok 5
Jepri Pratama (15)
Maulida F. Fadhila (17)
Nur Cholis S. (25)
Rika Puspitasari (28)
X.7 SMAN
1 Magetan
2011/2012
Tema : Akibat Proses Sosialisasi Nilai-Nilai Subkebudayaan
Menyimpang
KATA PENGANTAR
Puji dan
Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini walau tidak
tepat pada waktunya.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Magetan, 1 Mei 2012
Penulis
`
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar……………….....................................2
Daftar isi………………………………………………3
Bab I Pendahuluan…………………………………...4
Latar belakang…………………………………..4
Permasalahan……………………………………4
Ruang lingkup …………………………………..4
Tujuan……………………………………………4
Bab II
Pemecahan Masalah/Pembahasan…………..5
Pengertian………………………………………..5
Keblablasan……………………………………...5
Upaya pencegahan………………………………7
Bab III
Penutup………………………………………9
Kesimpulan………………………………………9
Saran……………………………………………..9
Daftar
Pustaka………………………………………11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Proses
sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang memiliki akibat yang dapat
menjadi masalah yang ada pada kehidupan sehari-hari kita. Salah satunya “salah
pergaulan”, dalam kehidupan sosialisasi dibutuhkan karena manusia adalah
makhluk sosial. Sosialisasi tidak hanya dilakukan di lingkup keluarga maupun
saudara, namun juga pada sekolah, lingkungan dan lain-lainnya karena lingkup
sosialisasi begitu luas dan itu hidup manusia. Dalam lingkup sekolah dan
lingkungan sekitar kita, kita bersosialisasi untuk mendapat teman. Bila kita
bersosialisasi dengan benar maka tidak akan terjadi “salah pergaulan”. Di era
sekarang ini, salah pergaulan sangat dimungkinkan terjadi. Salah pergaulan
memiliki akibat yang buruk pada perkembangan anak. Anak dapat menjadi pemberontak ataupun memiliki
sikap buruk lainnya.
B.
Permasalahan
1.
Mengapa
banyak remaja zaman sekarang yang lebih memilih gaya pergaulan barat yang
terkesan bebas ?
2.
Mengapa
banyak gadis di bawah umur sudah berani dalam aksi protistusi ?
C.
Ruang lingkup
Problematika sosial akan terus bergejolak
sampai manusia itu akan berpisah antar arah dengan nyawa, namun ada faktor yang
sangat bermakna dalam kehidupan yakni faktor manusia dengan Tuhan. Berbagai
macam alasan yang terlontar ketika para pelaku penyimpangan sosial tertangkap.
Dari alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga keperluan untuk membahagiakan sang pacar. Namun perlu kita
kaji lebih jauh bahwa penyimpangan sosial terjadi adanya penularan
kebudayaan di lingkungan di mana tinggal sebuah komunitas.
D.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah
ini adalah berusaha untuk mengkaji akibat proses sosialisasi nilai-nilai
subkebudayaan menyimpang di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang berasaskan
Pancasila. Karena hal ini erat kaitannya dengan sistem sosial dan budaya yang
terjadi di Indonesia. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Perilaku
menyimpang adalah suatu perilaku yang diekspresikan oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam sebuah masyarakat yang disadari tau tida disadari, tidak
sesuai dengan norma yang berlaku dan diterima oleh sebagian besar anggota
masyarakat.
Faktor penyebab perilaku
menyimpang:
1.
Sikap mental yang tidak sehat
2.
Ketidakharmonisan keluarga
3.
Pelampiasaan kekecewaan
4.
Dorongan kebutuhan ekonomi
5.
Lingkungan dan media massa
6.
Keinginan untuk dipuji
7.
Proses belajar yang salah
8.
Ketidaksanggupan meyerap norma
9.
Perbedaan ikatan sosial
10.
Proses sosialisasi nilai
subkebudayaan menyimpang
11.
Kegagalan dalam proses sosialisasi
Dalam proses sosialisasi, seseorang mungkin
dipengaruhi oleh nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, sehingga
terbentuklah perilaku menyimpang. Contoh: seorang anak dibesarkan pada
lingkungan yang menganggap perbuatan minum-minuman keras, pelacuran, dan
perkelahian sebagai hal yang biasa, maka anak tersebut akan
melakukan perbuatan menyimpang yang serupa. Menurut ukuran masyarakat
luas, perbuatan anak tersebut jelas bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku, maka perbuatan anak tersebut dapat dikategorikan menyimpang. Perilaku
menyimpang tersebut banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Perilaku
menyimpang dapat disebabkan oleh anomi. Secara sederhana anomi diartikan
sebagai suatu keadaan di masyarakat tanpa norma.
B. CONTOH PENYIMPANGAN
Gaya hidup
yang dipilih remaja cenderung memilih gaya hidup bebas atau lebih akrab dengan
pergaulan bebas. Pergaulan bebas cenderung mengikuti gaya kehidupan orang barat,
dimana orang bebas melakukan hal-hal yang diinginkannya tanpa memperhatikan
norma dan aturan yang berlaku. Gaya hidupnya akrab sekali dengan fashion yang
tidak menutup aurat, seks bebas, napza, dunia malam, dll. Berbeda dengan budaya
timur yang masih menjujung tinggi norma dan aturan yang berlaku, serta masih
mengenal hal yang tabu, jadi sering sekali kita mendengarkan ungkapan “jauhi
pergaulan bebas”.
Apakah
berlebihan jika gaya berpakaian anak muda zaman sekarang jauh dari kata sopan ?
Hal ini memang riil adanya memang sekilas busana yang dikenakan terlihat sopan,
celana panjang jins dan t-shirt. Tapi coba Anda perhatikan lebih lama lagi
busana yang mereka kenakan, dengan celana jins yang mepet dan t-shirt yang
ketat, secara tidak langsung mereka memamerkan lengkuk tubuh mereka. Entah itu
ketidak sengajaan karena efek yang ditimbulkan dari pakaian itu atau mereka
memang ingin memamerkan lakuk tubuhnya. Jika dapat dikatakan pakaian anak kecil
dan anak remaja sulit dibedakan, tidak terlalu kejam bukan? Karena Itu memang
benar nyatanya. Selain tidak menutup aurat, gaya busana anak muda sekarang
adalah main warna. Jika warna yang dipadukan serasi, saya rasa tidak akan ada
nada tanggapan negatife dari masyarakat, namun anak muda sekarang sering
memadukan warna-warna yang tidak kontras, alias “ambrol radol” (baca: tidak
bagus). Ini tidak hanya terjadi pada satu golongan saja, tapi hampir semua anak
remaja bangga berbusana seperti itu. Tidak jarang penampilan mereka mengikuti
sosok idola. Dengan menggunakan cara apapun mereka membeli barang-barang yang
sama dengan idola mereka, meskipun barang itu tidak asli. Berbagai fahion baru
tumbuh bagai cendawan, ada trend punk, funky, rappers, gengster, skinhead,
grunge dan sebagainya. Trend demikian bukan hanya di kalangan kaum lelaki malah
kaum perempuan. Demikian pula dengan model rambut yang lebih mengarah ke
potongan yang aneh-aneh dari pada memilih gaya yang biasa saja. Ada yang
mengikuti gaya potongan ala jepang, artis korea, dll. Mereka lebih suka memilih
gaya orang lain dari pada menyesuaikan dengan gaya mereka sendiri. Rambut juga
dicat warna-warni, meskipun aturan sekolah sudah melarangnya. Aturan seakan
sudah tidak berlaku lagi bagi mereka. Selain itu banyak tindik dan tato
dimana-mana, mereka tidak peduli dengan statusnya yang masih pelajar maupun
mahasiswi.
Eksploitasi
seksual dalam video klip, majalah, televisi dan film-film ternyata mendorong
para remaja untuk melakukan aktivitas seks secara sembarangan di usia muda.
Jika jaman dahulu wanita meraa jijik saat tubuhnya disentuh lelaki, kini diciumpun
merupakan hal yang biasa. Maka tidak mungkin seks juga merupakan hal biasa
dalam menghiasi masa pacaran. Pacaran tanpa melakukan seks bagi mereka adalah
sayur tanpa bumbu, tidak berasa sama sekali. Seks dijadikan kebutuhan pokok
yang harus terpenuhi. Tubuh tidak lagi disakralkan oleh kaum remaja putri, tapi
diumbar begitu saja. Banyak hal yang dilakukan hanya untuk pemuasan nafsu
belaka. Mereka tidak memikirkan resiko yang akan di tanggung. Kepercayaan dan
suka sama suka dijadikan alasan yang wajib dibuktikan dengan tindakan yang
meugikan diri sendiri. Bukan hanya mahasiswi saja yang melakukan seks bebas,
kini seks bebas mewabah di kalangan SMP. Anak-anak usia 14 tahun sudah mengenal
gaya pacaran yang tidak ada batasnya, yang berakhir pada kehamilan. Padahal
mereka tidak tahu resiko apa yang akan dihadapi. Setiap bulan kasus HIV dan
kehamilan meningkat 20 %, yang kebanyakan pasiennya adalah mahasiswi dan
pelajar. Saya yakin semua agama mempunyai sanksi tentang seks bebas. Namun
nampaknya para penerus bangsa ini sudah dibutakan oleh cinta yang tidak
bermoral. Ketakutan akan kehilangan cinta sudah membutakan hati mereka pada
keimanan dan harga diri.
Tidak ada
bedanya dengan tempat tongkrongan anak muda sekarang seperti cafe, mall, tempat
clubbing, lesehan, dll. tempat-tempat itu akrab sekali dengan dunia malam.
Clubbing misalnya, clubbing atau dikostik ini buka pada jam malam yaitu sekitar
jam 19.00-03.00. Seperti Anda ketahui mall, memang buka dari pagi hari. Namun
pagi, remaja putri menyelesaikan tugasnya sebagai pelajar dan mahasiswi sampai
jam belajrnya selesai, sehingga mereka meilih malam hari untuk berkumpul di
mall. Jika tidak ada yang mempunyai teman, mereka membawa laptop-nya kesana
kemari hanya untuk mencari wifi gratis. Lalu membuka situs-situs yang tidak
penting. Cafe pada umumnya tempat memesan makanan, tapi para “ayam kampus”
memanfaatkannya sebagai tempat “berjualan” agar terkesan lebih terhormat, tidak
di pinggir jalan. Berkumpul di kos, ijinnya belajar bersama-sama tapi malah
pacran bersama-sama. Janjian dengan pacar di mall, lalu nongkrong bareng
dipinggir jalan. Berkumpul di lesehan, tertawa ngakak, tidak hanya hidangan
makanan yang di esan tapi ada hidangan “plus-plus” yang memang sengaja di bawa.
Jika dilihat
sebetulnya dari tempat tongkrongan itu seharusnya mereka bisa menghasilkan
sesuatu yang positif. Misalnya, menghasilkan karya seni, pernak-pernik, dll.
Memang ada berapa remaja yang yang sudah merealisaikan hal itu, namun masih
bisa dihitung dengan jari. Lalu apa yang dilakukan remaja lainnya saat berada
di tempat tongkrongan? Yang saya sebutkan diatas hanya sebagian kecil hal
negative yang dilakukan anak muda di tempat ia berkumpul dengan teman-temanya.
Dari pergaulan “NONGKRONG” berubah
menjadi tempat ajang pamer barang, khususnya untuk remaja putri. Disinilah gaya
hidup berubah.Dari yang biasa menjadi gaya hidup mewah dan glamour.Bahkan tidak
sedikit dari mereka menjual diri mereka untuk meraih yang namanya gaya hidup
mewah. Paradigma ‘gaya hidup mewah/konsumerimse” ini begitu cepat merasuki
generasi muda terutama kaum pelajar yang berada di perkotaan, dan tidak
tertutup kemungkinan di daerah jauh dari perkotaan mengingat begitu cepatnya
‘sosialisasi’ paradigma ini melalui teknologi multimedia (TV, majalah,
internet). Bahakan yang rumahnya jauh dari kota besar sekalipun. Bagaimana
tidak, tidak hanya seks bebas (free sex) yang menjadi hal biasa bagi sebagian
kalangan remaja di perkotaan, namun transaksi prostitusi sudah terang-terangan
terjadi pada anak-anak dibawah umur (17 tahun).Berdasarkan hasil survei Komnas
Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12
provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa :
- Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks.
- Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
- Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
- Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
- Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks.
- Sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan.
- Sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi.
- Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja perempuan.
Kata
PSK atau pekerja seks komersial selama ini dialamatkan bagi mereka yang
melacurkan diri karena faktor ekonomi atau sebagai profesi. Karena kondisi
ekonomi yang tertekan, maka banyak wanita yang melacurkan diri untuk menghidupi
keluarga atau ‘terpaksa’ karena tidak ada lapangan pekerjaan. Namun dari sekian
banyak tipe PSK ini, tidak sedikit dari mereka yang telah terjebak oleh mafia
perdagangan manusia atau mengalami frustasi luar biasa. Mereka ini menjadi
korban ekonomi dan kejahatan perdagangan manusia. Bila PSK selama ini
diasosiasikan sebagai pekerja demi memenuhi kebutuhan hidup mendasar, namun
beberapa tahun terakhir, menjadi PSK tidak semata-mata lagi karena faktor
ekonomi. Motfi para siswi sekolah yang menjajahkan diri dengan harga beragam
dari Rp 150.000 hingga beberapa juta mulai bergeser. Dari faktor ekonomi menjadi gaya
hidup mewah. Banyak
pelajar ini yang mengakui bahwa mereka masuk ke dunia prostitusi karena “tidak
tahan melihat” gaya hidup mewah dari rekan-rekannya dari orang kaya. Para siswi
ini nekat terjun ke dunia malam hanya karena ingin
memiliki uang, barang-barang mewah termasuk handphone model terakhir.
Hasrat yang tinggi untuk memiliki
barang mewah tersebut disambut oleh para mucikari sebagai ‘gayung
bersambut’, menjadikan ini peluang emas meraup keuntungan. Transaksi seks ABG
ini dikoordinasi beberapa mucikari yang biasa beroperasi.
C.
UPAYAPENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYIMPANGAN SOSIAL
Maka sudah
semestinya pemerintah bersama masyarakat melihat ini sebagai tantangan besar
bagi bangsa ini. Anak-anak dan remaja adalah generasi harapan penerus bangsa
ini. Untuk menjadi penerus bangsa yang akan mengisi perjuangan bangsa, tentulah
diharapkan orang-orang yang berwatak dan berintegritas. Orang-orang yang
dididik dan ‘dibentuk’, cerdas sekaligus bermoral. Ada orang yang sejak
lahir memang memiliki jiwa pemimpin, namun pada umumnya jiwa kepemimpinan dari
para pemimpin dunia ini muncul setelah melalui proses belajar yang panjang.
Apabila
pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan (Great
Leader are Make, not Born), maka setiap lika-liku kehidupan seorang
calon pemimpin sangatlah penting. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah
paradigma, maka kecil sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin
yang visionerl. Bila sejak kecil mereka memiliki masalah moralitas, maka kecil
sekali kemungkinan mereka pada akhirnya menjadi pemimpin yang bermoral dan
berintegritas. Dan apabila, krisis moralitas seperti kasus diatas kita biarkan,
maka tidaklah mustahil bahwa nilai-nilai kultur positif nusantara hanya akan
dapat ditemukan “Museum Moral Indonesia”.
Sementara,
aksi-aksi demoralisasi masih tetap santer terdengar dan bahkan lebih progresif.Pergaulan
bebas yang berlebihan, banyaknya judul film porno di kalangan remaja, siswa-siswi selalu menjadi
berita nasional setidaknya tiap dua minggu sekali. Setiap berita ini muncul,
maka animo netter naik beratus-ratus persen. Dalam salah satu kasus beberapa
tahun yang lalu, ada seoraang anak SMP tega membunuh orang tuanya sendiri. Di
tempat lain seorang anak SD bunuh diri dengan alasan tidak sanggup membayar SPP
atau kisah anak SD lain yang bunuh diri hanya karena baju seragam hari itu
tidak bisa dipakai karena basah terkena hujan. Tawuran pelajar SMA meski sudah
mulai jarang kedengar, namun aksi pertikaian para mahasiswa kini menggantikan
hot news.
Aksi dan aktivitas yang negatif ini tidak
semata ditangani, namun harus dicegah. Aksi negatif lebih mudah menjamur
daripada aksi positif. Indonesia memang tidak kekurangan siswa-siswi yang
berprestasi hingga tingkat dunia dalam bidang sains, teknologi, seni, budaya,
dan olahraga. Kualitas dasar anak
Indonesia sangatlah, dan memiliki potensi yang besar untuk menjadi manusia yang
berdaya manfaat tinggi bagi masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena
itu, semua potensi ini haruslah dikembang, sehingga kita perlu mendidik
agar mereka tidak terjun ke gerbang kehancuran.
Siapakah yang paling bertanggungjawab
dalam hal ini? Orang tua
memiliki peranan nomor wahid. Pendidikan moral dan pekerti sudah semestinya
dididik anak sejak dini ketika masa-masa terbesar hidup mereka berada di rumah
bersama orang tua. Ketika mereka menginjak remaja, maka porsir terbesar jatuh
ketangan pihak sekolah/guru.
Pendidikan sekolah menjadi gerbang utama membentuk mindset, paradigma serta
moralitas si anak ini. Hampir 1/2 ‘kehidupan’ siswa-siswi SMP-SMA berada
di sekolah (6-8 jam di sekolah, 1-2 jam di luar sekolah, 6-8 jam di rumah, 7-9
jam tidur). Pemuka agama seharusnya
menjadi ‘pengawas moralitas’ masyarakat, namun banyak dari mereka terjebat
dalam konflik kepentingan, politik hingga sebatas ‘artis’ lip service. Disini, peran pemerintah melalui media sangat penting dalam
memproteksi anak-anak. Begitu juga, sistem pendidikan kita hendaknya memikirkan
hal ini. Jangan sampai sistem pendidikan hanya dipandang sebagai mesin
‘produksi’ kelulusan kuantitatif. Seorang yang dinyatakan lulus hendaknya
memikirkan faktor logika dan etika. Bukan sebatas angka UN, lalu orang lulus,
namun moralitas diabaikan. Guru bukanlah mesin kelulusan, tapi guru adalah
pendidik. Bukan juga semata pengajar, tapi sekali lagi pendidik!
Terakhir,
semoga para orang tua untuk memberi perhatian yang baik kepada anak-anaknya.
Jangan sampai anak-anak Anda masuk dalam daftar survei diatas. Karena berita
diatas sangat mungkin fenomena gunung es yang terekspos di media.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setiap orang memiliki kecenderungan untuk
melakukan perilaku menyimpang dari jalur yang telah ditentukan berdasarkan
norma hukum yang berlaku dalam masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Penyimpangan perilaku ini, semata-mata didorong oleh nilai-nilai sosial budaya dan yang dianggap berfungsi sebagai pedoman
berperikelakuan setiap manusia didalam hidupnya. Jadi kelakuan yang menyimpang
itu akan terjadi apabila manusia memiliki kecenderungan untuk lebih
mementingkan suatu nilai sosial budaya dari pada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai cita-citanya.
Berpudarnya pegangan orang pada
kaidah-kaidah, menimbulkan keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah-kaidah.
Hal ini berhubungan erat dengan teori anomie Durkheim, dimana menimbulkan
mentalitas menerabas yang pada hakikatnya menimbulkan sikap untuk mencapai
tujuan secepatnya tanpa banyak berusaha dan berkorban dalam arti mengikuti
langkah-langkah atau kaidah kaidah yang ditentukan. Berkaitan dengan teori
diatas, setiap orang yang berperilaku di luar kaidah-kaidah yang telah
disepakati bersama, dianggap sebagai melawan kaidah tersebut atau tindakkan
menerabas, yaitu melakukan jalan pintas di luar kaidah yang ada untuk mencapai
tujuan dengan cepat.
Munculnya perilaku menyimpang ini disebabkan oleh kaidah kaidah yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga mendorong orang untuk mengembangkan konsepsi-konsepsi abstrak yang ada dalam pikirannya untuk mencapai tujuannya atau mencari identitas diri tanpa memperhitungkan dampak negatifnya.
Munculnya perilaku menyimpang ini disebabkan oleh kaidah kaidah yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga mendorong orang untuk mengembangkan konsepsi-konsepsi abstrak yang ada dalam pikirannya untuk mencapai tujuannya atau mencari identitas diri tanpa memperhitungkan dampak negatifnya.
B. SARAN :
a) Masyarakat
Agar lebih meningkatkan pendidikan moral dan
pendidikan formal, sehingga memiliki keseimbangan selaras dalam mengatasi
persoalan yang dihadapi yang semakin komplek dan dapat mengatasi masalah social
secara sikap yang terdidik dan berpegang teguh kepada aturan norma, agama, dan
hokum yang berlaku.
b) Sekolah
Lebih bersikap peduli untuk mengawasi siswa dan siswi di sekolah serta mampu memberrikan arahan yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga perilaku siswa dan siswi terhindar dari perilaku menyimpang.
c) Siswa-siswi
Dapat berpikir rasional dalam menghadapi masalah yang dihadapi baik itu masalah yang menyangkut emosion feeling, harga diri, ekonomi, atau masalah lainnya. Dapat memilih dan memilih sikap dan tingkah laku yang positip dan tidak mudah terbawa arus budaya yang tidak jelas yang berefek samping pada penjerumusan
b) Sekolah
Lebih bersikap peduli untuk mengawasi siswa dan siswi di sekolah serta mampu memberrikan arahan yang tepat guna dan tepat sasaran sehingga perilaku siswa dan siswi terhindar dari perilaku menyimpang.
c) Siswa-siswi
Dapat berpikir rasional dalam menghadapi masalah yang dihadapi baik itu masalah yang menyangkut emosion feeling, harga diri, ekonomi, atau masalah lainnya. Dapat memilih dan memilih sikap dan tingkah laku yang positip dan tidak mudah terbawa arus budaya yang tidak jelas yang berefek samping pada penjerumusan
Daftar Pustaka/Kepustakaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpangJurnalskripsi.com
Nurseno.2011.Theory
and Application of Sociology.Solo:Tiga Serangkai
Suprihartoyo.2011.Sosiologi untuk Siswa SMA
kelas X.Surakarta:Mitra Pustaka
Semoga bisa menjadi bahan refrensi untuk pembaca ! ;D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar